HUKUM TAKLIFI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
M. ZIKRULLAH
GHASYIA MZ
RIZALDI IKHSAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI AR-RANIRY
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA INGGRIS
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan nikmatnya yang tak
ternilai harganya, sehingga penulis telah selesai menulis makalah ini yang berjudul : HUKUM TAKLIFI
Selanjutnya salam sejahtera juga penulis
haturkan kepada tokoh ilmuan sedunia yaitu
Nabi Muhammad Saw yang merupakan
salah seorang yang sudah terbukti keberhasilannya dalam hal mengajarkan nilai
nilai kebenaran ataupun mendidik, merobah peradaban manusia, dan sikap serta
cara pandang dan pola hidup sebagai mana layaknya.
Terimakasih kepada
kawan-kawan yang ikut memberi andil, sport serta motivasi dalam rangka
penulisan makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………..1
A. Latar belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 1
BAB II ISI……………………………………………………………………...2
A. Pengertian hukum taklifi............................................................................ 2
B. Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i....................................... 2
C. Pembahasan-pembahasan
hukum taklifi dalam ushul fiqh......................... 3
1.
Wajib................................................................................................... 4
2. Mandub / Sunat................................................................................... 7
3. Haram.................................................................................................. 11
4. Makruh................................................................................................ 13
5. Mubah................................................................................................. 14
BAB III PENUTUP…………………………………………………………..15
A. Kesimpulan................................................................................................. 15
B. Saran .......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum
taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan
menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan
tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai
perbuatan seorang mukallaf (balig dan
berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang
mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.
Pembahasan tentang hukum taklifi’ adalah
salah satu dari beberapa kajian Ushul Fiqh. Bahkan salah satu tujuan utama
dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum taklifi’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena
begitu penting kedudukan hukum taklifi’ dalam
pembahasan ini, maka pada pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa itu hukum taklifi ?
b.
Apa saja perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’I ?
c.
Apa saja pembahasan-pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh ?
C.
Tujuan
a.
Mengetahui tentang hukum taklifi
b.
Mengetahui perbedaan-perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i
c. Mengetahui macam-macam pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh
BAB II
ISI
A.
Pengertian
Hukum Taklifi
Secara
etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“ mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau mani’ [penghalang]).
Hukum
taklifi adalah hukum yang
mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan
antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut
melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara
memperbuat dan tidak memperbuat.
B. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
ü Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam
bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat.
ü Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang
kecakapan untuk melakukan hukum taklifi.
Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
1)
Hukum taklifi adalah hukum yang
mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf,
sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum
taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajub dilaksanakan
umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di
tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat
zuhur.
2)
Hukum taklifi dalam berbagai
macamnya selalu berada dalam batas kemampuanseorang mukalaf. Sedangkan hukum
wadh’i sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan
aktivitas manusia. Misalnya seperrti dalam contoh di atas tadi, keadaan
tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan
aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah
menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat
zuhur.
C. Pembahasan-pembahasan Hukum Taklifi dalam ushul fiqh
Golongan
Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada
tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Menurut
kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadis
mutawatir maka perintah itu disebut fardhu.
Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab.
Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah
tahrim.
Dengan
pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun
golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat
membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas.
Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
1.
Wajib
a. PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh
syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Atau menurut
definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan
jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini
dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang
ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman
Allah:
Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
(QS. Thaha:14)
Dapat juga
dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang
menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....”
(QS. Al-Baqarah: 183)
b. Pembagian Wajib
Dilihat dari
beberapa segi, wajib terbagi empat:
1)
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya
perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:
a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan
macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam shalat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah
satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat
sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau
memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.
2)
Dilihat dari
segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang
diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:
a. Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk
melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu
mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk
melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang
terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat
dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu.
Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan
pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat
setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang
diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang
melalaikan waktu.
b.
Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang
tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu.
Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan
Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq
tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.
3)
Dilihat dari
segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti
oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji.
Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b. Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan
kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka
tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang
mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan
lain sebagainya.
4)
Dilihat dari
segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a. Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh
syara’ bentuk perbuatan yang dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan
tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau
dengan kata lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya.
Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah
ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah
ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib
dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan
boleh diambil dengan paksa.
b. Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang
wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya
atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi
sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan
lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi
hutang dan tidak boleh dipaksa.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang wajib yaitu :[1]
Ø Tuntutan untuk memperbuat secara
pasti, yaitu
suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila
ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah
“wajib”.
Contohnya:
mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
Firman Allah SWT :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا
الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56)
"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah
perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah". An-Nur : 56
1. Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
a. Wajib muthlaq
Yaitu
kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila
waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu
melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya
tidak ditentukan oleh syara’
b. Wajib muaqqad
Yaitu
kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa
ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Wajib muwassa’
Yaitu
kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan
kewajiban itu. contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya
dari petang sampai subuh.
Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu
kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa
ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai
maghrib.
Wajib dzu syahnaini
Yaitu
kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua
sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya sama dengan
waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
2. Pembagian wajib dari segi pelaksana.
Wajib ‘ain
Wajib kifayah
3. Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
Wajib muhaddad
Kewajiban
yang ditentukan kadarnya. contoh : zakat
Wajib ghairu muhaddad
Yaitu
kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4. Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang
dituntut.
Wajib mu’ayyan.
Wajib
yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar
Wajib
yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
2.
Mandub
a. Pengertian Mandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:
“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf
namun tnututannya tidak begitu keras.”
Atau dengan
kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).
Perbuatan
mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti
dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk
amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari
nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Contohnya ialah sunat menulis/mencatatkan
hutang..
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا
عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan
sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberikan tempoh sehingga ke suatu
masa yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa bayarannya)
itu.
(QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat
lain diterangkan:
Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu
tidak menulisnya....”
(QS. Al-Baqarah 282)
Ayat yang
kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub
(sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar
yang mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui
kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang
meninggalkannya.
b. Pembagian Mandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti sunat dan nafal
dengan mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:
1) Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang
diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti azan dan shalat
berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan
tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat
meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.
2) Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang
dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti
jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan, minum, tidur dan
sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi mukallaf dan
kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.
3) Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan
memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib dan sunat seperti shalat
sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan memperoleh pahala dan
kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak pula dicela.
Biasanya,
mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
a) Sunat ‘ain,
ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk
dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
b) Sunat
kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan
orang bersin, dan lain sebagainya.
Para ulama
dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah:
1)
Sunat
muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan
siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang
menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari
raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu
diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang
menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
2)
Sunat Ghairu
muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela
meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata
lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005)
mengatakan bahwa hokum taklifi tentang sunat yaitu:[2]
Ø Tuntutan
untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu
dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh
seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt. Dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
Contohnya:
sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
Mandub(sunah)
dibagi menjadi;
1. Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan
sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
Sunah muakkadah
Yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan
bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
Sunah ghairu muakkadah
Yaitu
perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya
dengan perbuatan tersebut.
2. Dari segi kemungkinan meninggalkan
perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
Sunah hadyu
Yaitu
perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang
didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat
hari raya.
Sunah zaidah
Yaitu sunah
yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat
dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila
ditinggalkan.
Sunah nafal
Yaitu
perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib
3. Haram
a. Pengertian Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
“apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak
melakukannya dengan tuntutan keras.”
Atau dengan
kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan
kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan
yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS.
Al-Maidah 3)
b. Pembagian
Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada
dua:
1)
Haram li
zatihi, ialah haram karena perbuatan itu
sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak
semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2)
Haram li
gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena
faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah,
berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan
puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan
berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu
juga dengan lainnya.
Para ulama
dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat
dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:
1)
Haram yang
ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan
Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan
fardhu. Contohnya seperti larangan
berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
2)
Haram yang
ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti
ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya
seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni
yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu
Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum
taklifi tentang haram yaitu :[2]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan secara
pasti, yaitu
suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan
mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat
pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”. Ulama hanafiyah menjabarkan hukum
haram menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan
secara pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan
harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
Contohnya, larangan mengumpat.
Firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ
يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Wahai orang-orang
yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka
sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah
dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang
dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang
dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian
keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah
larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah;
sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani. al-Hujarat : 12
Ayat di atas
menjelaskan bahawa mengumpat itu adalah HARAM kerana ia satu bentuk tuntutan
yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
4. Makruh
a. Pengertian Makruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang
dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.”
Atau dengan
kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau
dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak
sedap, dan lain sebagainya.
b. Pembagian Makruh
Pada
umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
1) Makruh
tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
mengerjakan.
2) Makruh
tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu
zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging
ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum
taklifi tentang makruh yaitu :[3]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan atau
larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila
ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah
“karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Contoh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا
عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا
وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun. Al-Maidah : 101.
5. Mubah
a. PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf
untuk memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya.”
b. PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang
diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak
memperbuat
1)
Tidak
diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi
kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya
2)
Tidak diterangkan
sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali pada kaidah
bara’tul ashliyah.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum
taklifi tentang mubah yaitu :[3]
Ø Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk
memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula
dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan
tahallul dalam ibadah haji, dll.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian
yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
v Ijab adalah
firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya
firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
v Nadb adalah
firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang
tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah
surat Al-Baqarah [2]:282: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”
v Tahrim adalah
firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, dan daging babi.”
v karahah adalah
firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101: “Janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.”
v ibahah adalah firman Allah yang
memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235: “Dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan mestilah sindiran.”
B.
SARAN
Segala sesuatu yang kita ketahui hukumnya mestilah kita apilkasikan dalam
kehidupan kita, jangan sudah mengetahui hukumnya tetapi tidak sesuai amalan
perbuatannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Khallaf,
Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
. 2002. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
Amani.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan
Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh.
Banda Aceh: Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group
Yogyakarta.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: PT Alma’arif
DOWNLOAD TEXT NYA DISINI
ConversionConversion EmoticonEmoticon