Makalah Hukum Taklifi



HUKUM TAKLIFI
D
I
S
U
S
U
                                          N                                         
OLEH

M. ZIKRULLAH
GHASYIA MZ
RIZALDI IKHSAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS









KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan nikmatnya yang tak ternilai harganya, sehingga penulis telah selesai menulis makalah ini yang berjudul : HUKUM TAKLIFI

      Selanjutnya salam sejahtera juga penulis haturkan kepada tokoh ilmuan sedunia yaitu Nabi Muhammad Saw yang merupakan salah seorang yang sudah terbukti keberhasilannya dalam hal mengajarkan nilai nilai kebenaran ataupun mendidik, merobah peradaban manusia, dan sikap serta cara pandang dan pola hidup sebagai mana layaknya.

       Terimakasih kepada kawan-kawan yang ikut memberi andil, sport serta motivasi dalam rangka penulisan makalah ini.

Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………..1
A.      Latar belakang............................................................................................ 1
B.       Rumusan masalah....................................................................................... 1
C.       Tujuan   ..................................................................................................... 1

BAB II ISI……………………………………………………………………...2
A.      Pengertian hukum taklifi............................................................................ 2
B.       Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i....................................... 2
C.       Pembahasan-pembahasan hukum taklifi dalam ushul fiqh......................... 3
1.      Wajib................................................................................................... 4
2.      Mandub / Sunat................................................................................... 7
3.      Haram.................................................................................................. 11
4.      Makruh................................................................................................ 13
5.      Mubah................................................................................................. 14

BAB III PENUTUP…………………………………………………………..15
A.      Kesimpulan................................................................................................. 15
B.       Saran .......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA
 








BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf (balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan  dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.

Pembahasan tentang hukum taklifi adalah salah satu dari beberapa kajian Ushul Fiqh. Bahkan salah satu tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum taklifi dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum taklifi dalam pembahasan ini, maka pada pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.

B.       Rumusan Masalah

a.       Apa itu hukum taklifi ?
b.      Apa saja perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’I ?
c.       Apa saja pembahasan-pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh ?

C.       Tujuan

a.       Mengetahui tentang hukum taklifi
b.      Mengetahui perbedaan-perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’i
c.    Mengetahui macam-macam pembahasan hukum taklifi dalam ilmu Ushul Fiqh  









BAB II

ISI

A.       Pengertian Hukum Taklifi

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “ mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).

Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.

B.       Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
ü  Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
ü  Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi.

Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:
1)      Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajub dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
2)      Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuanseorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya seperrti dalam contoh di atas tadi, keadaan tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya. Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat zuhur.

C.       Pembahasan-pembahasan Hukum Taklifi dalam ushul fiqh

Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.


1.      Wajib
a.       PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:
Artinya: “... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ....” (QS. Al-Baqarah: 183)

b.      Pembagian Wajib
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1)       Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat    dibagi dua:
a.    Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam shalat.
b.    Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.

2)      Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:
a.  Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.
b.   Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.
3)      Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a.    Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b.   Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.

4)      Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a.     Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.
b.    Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak boleh dipaksa.
Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum taklifi tentang wajib yaitu :[1]
Ø   Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
Firman Allah SWT :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (56)
"Dirikanlah solat dan keluarkan zakat dan taatilah perintah Rasul, mudah-mudahan kamu dirahmati Allah". An-Nur : 56
1.      Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
a.     Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’
b.    Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
  Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu.  contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
 


[1] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset. hal 333-355
  Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.

  Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.

2.      Pembagian wajib dari segi pelaksana.
  Wajib ‘ain
  Wajib kifayah

3.      Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
  Wajib muhaddad
Kewajiban yang ditentukan kadarnya.  contoh : zakat
  Wajib ghairu muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.

4.      Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.
  Wajib mu’ayyan.
 Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
 Wajib mukhayyar
 Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.

2.      Mandub
a.       Pengertian Mandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:
Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun tnututannya tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Contohnya ialah sunat menulis/mencatatkan hutang..
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberikan tempoh sehingga ke suatu masa yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa bayarannya) itu. 
(QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: “... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya....”
 (QS. Al-Baqarah 282)
Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

b.      Pembagian Mandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti sunat dan nafal dengan mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:
1)     Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti azan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.
2)     Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan, minum, tidur dan sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi mukallaf dan kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.
3)     Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak pula dicela.
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
a)     Sunat ‘ain, ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
b)     Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan lain sebagainya.

Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah:
1)      Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
2)      Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul.

Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum taklifi tentang sunat yaitu:[2]
Ø Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt. Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.

Mandub(sunah) dibagi menjadi;
1.      Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
  Sunah muakkadah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
  Sunah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.

2.      Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu;
  Sunah hadyu        
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.



 


[2] Amir syarifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:Fajar interpratama offset. Hal 356-362
  Sunah zaidah
Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.

  Sunah nafal
Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib

3.      Haram
a.       Pengertian Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
“apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.”
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)

b.      Pembagian Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
1)      Haram li zatihi, ialah haram  karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya  adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2)      Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:
1)      Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan fardhu.  Contohnya seperti larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
2)      Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)

Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum taklifi tentang haram yaitu :[2]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”. Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
Contohnya, larangan mengumpat.
Firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani. al-Hujarat : 12
Ayat di atas menjelaskan bahawa mengumpat itu adalah HARAM kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
4.      Makruh
a.       Pengertian Makruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya.

b.      Pembagian Makruh
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
1)     Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan.
2)     Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).

Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum taklifi tentang makruh yaitu :[3]
Ø Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
Contoh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآَنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (101)
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.  Al-Maidah : 101.

5.      Mubah
a.       PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya.”

b.      PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat
1)      Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya
2)      Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali pada kaidah bara’tul ashliyah.

Menurut Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh (2005) mengatakan bahwa hokum taklifi tentang mubah yaitu :[3]
Ø Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.


 



[3] Amir syrifuddin,Ushul fiqh,Jakarta:fajar interpratama offset hal 363
BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN

Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
v  Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”

v  Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”

v  Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”
v  karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.”

v   ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan mestilah sindiran.”

B.            SARAN

Segala sesuatu yang kita ketahui hukumnya mestilah kita apilkasikan dalam kehidupan kita, jangan sudah mengetahui hukumnya tetapi tidak sesuai amalan perbuatannya sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
. 2002. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.

Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: PT Alma’arif


DOWNLOAD TEXT NYA DISINI





Previous
Next Post »
Thanks for your comment