ISTILAH –ISTILAH DALAM
ULUMUL HADIS
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
M. ZIKRULLAH
SUFARWI NZ
AKMALUL IKHSAN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI AR-RANIRY
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA INGGRIS
KATA PENGANTAR
Puji
Syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan nikmatnya yang tak
ternilai harganya, sehingga penulis telah selesai menulis makalah ini yang berjudul : ISTILAH-ISTILAH DALAM ULUMUL HADIS
Selanjutnya salam sejahtera juga penulis
haturkan kepada tokoh ilmuan sedunia yaitu
Nabi Muhammad Saw yang merupakan
salah seorang yang sudah terbukti keberhasilannya dalam hal mengajarkan nilai
nilai kebenaran ataupun mendidik, merobah peradaban manusia, dan sikap serta
cara pandang dan pola hidup sebagai mana layaknya.
Terimakasih kepada
kawan-kawan yang ikut memberi andil, sport serta motivasi dalam rangka
penulisan makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………..1
A. Latar belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan ..................................................................................................... 1
BAB II ISI……………………………………………………………………...2
A. Pengertian ilmu hadis................................................................................. 2
B. Istilah-istilah yang
berkaitan dengan generasi periwayatan hadis.............. 2
C. Istilah-istilah dalam
ulumul hadis............................................................... 5
BAB III PENUTUP…………………………………………………………..13
A. Kesimpulan................................................................................................. 13
B. Saran .......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Haditst
adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam
pandangan Islam. Al-Qur’an dan nabi dengan sunnahhnya (haditstnya) merupakan
dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduannya merupakan hal sentral yang menjadi
“jantung” umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber
keilmuanya Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena itu
wajar dan logis jika bila perhatian dan aspirasi terhadap keduanya melebihi
perhatian terhadap bidang yang lain .Haditst adalah sumber ajaran Islam
kedua, setelah Al-Qur’an. Dan haditst nabi Sebagai salah satu sumber ajaran
Islam, cukup banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang
yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi Muhammad, utusan
Allah. Sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah surat al-Hasr 59:7.
Dalam
mempelajari haditst Nabi SAW, kita tidak akan pernah terpisah dengan istilah –
istilah yang berhubungan dengan ulumul hadits. Pengetahuan tentang
istilah-istilah ini akan membantu kita dalam memahami dan mempelajari ulumul
haditst.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Apa
pengertian ilmu hadits ?
b.
Apa saja istilah-istilah
yang berkaitan dengan generasi periwayat hadits
?
c.
Apa saja istilah-istilah
dasar dalam ilmu hadits ?
C.
Tujuan
a.
Mengetahui pengertian
ilmu hadits
b.
Mengetahui istilah-istilah yang berkaitan dengan generasi
periwayat hadits
c. Mengetahui istilah-istilah
dasar dalam ilmu hadits
BAB II
ISI
A.
Pengertian Ilmu Hadis
Sebelum mengkaji istilah-istilah dalam ulumul hadis, terlebih dahulu kita
mesti mengetahui apa itu ilmu hadis. Ilmu hadis adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui
kedudukan sanad, matan dan rawi apakah diterima atau ditolak. Situs wikipedia menyatakan bahwa makna
hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan Rasulullah. Dengan
demikian ilmu Al-Hadits adalah ilmu-ilmu tentang perkataan atau
percakapan Rasulullah.
Menurut
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni “segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat”. Hal ini sejalan
dengan pengertian hadits yang dikemukakan dalam buku Musthalahul hadits yang
berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat
B.
Istilah–Istilah yang Berkaitan
dengan Generasi Periwayatan Hadis
1.
Sahabat
Secara
etimologi, kata “sahabat” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata bentuk
plural untuk kata صاحب (sahib) yang
mempunyai arti selalu menyertai dan menemani.[1] Dari
penjelasan tersebut, “sahabat” menurut akar katanya berarti orang yang selalu
menyertai dan menemani orang lain. Sedangkan apabila dilihat dari sudut
terminologinya, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan pengertian
“sahabat” seperti berikut:
Ahmad bin
Hanbal, Bukhari, Ibnu Shalah dan mayoritas ulama hadits menyatakan bahwa
sahabat adalah orang muslim yang pernah menyaksikan Rasulullah saw. walau hanya
untuk sesaat.[2]
[1] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari (Kairo:
Dar ar-Raiyan, 1988), jil. VII, h. 5.
[2] Ali
bin Ahmad vin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar
Kutub al-Ilmiyyah, tth.) , jil. II, h. 86.
Sedangkan
menurut Ibnu Hazm bahwa sahabat adalah orang yang pernah duduk bersama
Rasulullah saw. walau untuk sesaat, mendengar darinya walau sepatah kata, atau
pernah menyaksikan beliau dalam suatu kondisi, dengan syarat orang tersebut
tidak dalam keadaan munafiq dan tidak menjadi munafiq hingga ia meninggal.[3]
Sedangkan
menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa sahabat adalah orang yang pernah bertemu
dengan Rasulullah saw., beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam.
Dengan pengertian ini, termasuk dalam kelompok sahabat adalah semua orang-orang
yang masuk Islam pada peristiwa Fath Mekkah, atau orang-orang yang menyaksikan
Rasulullah saw. dalam waktu singkat dan tidak pernah meriwayatkan hadits
darinya.[4]
Namun menurut istilah ilmu hadits yang disepakati oleh para ulama hadits,
sahabat ialah orang islam yang pernah bertemu atau melihat Nabi Muhammad saw.
dan wafat dalam keadaan beragama Islam.[5]
Diantara
tokoh-tokoh Muta’akhirun adalah :
a. Abu Harairah Radhiyallahu ‘anhu (wafat 57 H)
b. Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu 'anhu (wafat 72
H)
c. Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu (wafat 93 H)
d. Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu 'anhu (wafat 68
H)
e. Jabir bin
Abdullah Radhiyallahu ‘anhu (wafat 74 H)
2.
Mukhadhramin
Kata
Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata
Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau Shallallahu Alaihi Wassalam.
Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau Shallallahu Alaihi Wassalam.
[3] Ibnu
Hajar al-Asqalani, al-Ishabah ti Tamyiz as-Shahabah, (Beirut: Dar
Kutub al-Ilmiyyah, 1995), jil. I, h. 158.
[4] DR.H.M. Arief Halim, MA.,Ikhtisar Ilmu Hadis, (Makassar:Program
Pasca Sarjan Universitas Muslim Indonesia,2010), h.104
[5]Abushafiyah,Arsipuntuk‘muhadditsin.http://abushafiyah.wordpress.com/category/muhadditsin/28 Maret 2013
Menurut
pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam
kategori kalangan Tabi’in. Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20
orang seperti yang dihitung oleh Imam Muslim. Akan tetapi pendapat
yang tepat,bahwa jumlah mereka lebih dari itu, di antara nama
mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad bin Yazid
an- Nakha’iy.[6]
3.
Tabi’in
Tabi'in
artinya pengikut, adalah orang Islam awal yang masa hidupnya setelah para
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dan tidak mengalami masa
hidup bersama Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wassallam. Usianya tentu saja lebih muda dari
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam bahkan ada yang masih
anak-anak atau remaja pada masa Sahabat masih hidup. Tabi'in disebut juga
sebagai murid Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam.
Salah satu contoh tabi’in bernama
Muhammad bin Sirin (wafat th. 110H) [7]
4.
Al-mutaqoddimun
Yaitu para
ulama’ yang hidup pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah yang telah menghimpun
hadits-hadits Nabi SAW. di dalam kitab 3 mereka yang mereka dapatkan melalui
kunjungan langsung ke guru-guru mereka. Diantara ulama’ Mutaqoddimun yang telah
berhasil menghimpun hadits-hadits Nabi SAW. di antaranya adalah :
a. Imam Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241H)
b. Imam Bukhori (194 – 256 H)
c. Imam Muslim (220 – 261 H)
d. Imam Al-Nasa’i (215 – 303 H)
e. Imam Abu Daud (202 – 276 H)
f. Imam Al-Tirmidzi (209 – 269 H)
[6]BayuSetiawan,BiografiIslam,http://biografiislami.blogspot.com/2012/03/pengertiantabiin.html)
28 Maret 2013.
5.
Al-Mutaakhirun
Yaitu para
ulama’ hadits yang hidup pada abad ke-4 Hijriah dan seterusnya.
Diantara
tokoh-tokoh Muta’akhirun adalah :
a. Imam Al-Hakim (359 – 405 H)
b. Imam Al-Dar al-Quthni (w – 385 H)
c. Imam Ibn Hibban (w – 354 H)
C. Istilah–Istilah
Dasar dalam Ilmu Hadis
1.
Sanad : Kata sanad
atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati mu’tamad
(sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah).
Dikatakan demikian karena hadist itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas
kebenarannya.
Secara
temionologis,difinisi sanad ialah : para perawi yang menyampaikan kepada matan,
atau silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadits. Silsilah
orang maksudnya, ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang meyampaikan
materi hadis tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rasul SAW, yang
perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau matan hadits.
Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang-orang
bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan. Contoh :
اخَبَرنَا مالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدُاللهِ بْنِ
عُمَر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
(Dikabarkan
kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari
Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda..)
[9]'UlumalHadis,TahammulwaAdaalHadits,http://stiqulumalhadis.blogspot.com/2012/01/tahamul-wa-adaal-hadis.html. Kamis, 28Maret 2013.
2.
Matan : Kata matan
atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-aradhi(tanah
yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki beberapa difinisi,
yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu sendiri. Pada salah
satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan bahwa matan ialah lafazh-lafazh
hadits yang didalamnya mengandung makna – makna tertentu.. Dari definisi diatas
memberi pengertian bahwa apa yang telah tertulis
setelah ( penulisan ) silsilah sanad adalah matan hadits. Contoh :
لا يَبِيْعُ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَيْعِ بَعْضٍ
“Janganlah
sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang
lainnya.”
3.
Rawi : Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan
hadis. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/ meriwayatkan,
dan memindahkan hadits. Sebenarnya
antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama. Sanad-sanad
hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para rawi. Begitu
juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi tabaqah
berikutnya. Contoh :
( رواه
البخاري )
Hadis riwayat Bukhari
4.
Musnad : Menurut
bahasa Musnad adalah bentuk isim maf’ul dari
kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang disandarkan
kepada yang lain.
Secara
terminologi, musnad mengandung tiga pengertian, yaitu :
الحَدِيْثُ
الَّذِيْ اِتَصَلَ سَنَدهُ مِنْ راويه إِلَى مُنْتَهَاهُ
·
“Hadis yang bersambung sanad-nya dari perawinya
(dalam contoh sanad di atas adalah Bukhari) sampai kepada akhir sanadnya yang
biasanya adalah Sahabat, dan dalam contoh diatas adalah Anas r.a”.
الكِتَا بُ
الَّذِيْ جَمَع فِيْهِ مَا أَسْنَدهُ الصَحَابَةُ أَيْ رووه
·
“Kitab yang menghimpun Hadis-hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh shahabat, seperti Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar r.a dan lainnya. Contohnya, adalah kitab Musnad Imam Ahmad”.
أن يطلق
ويرادبه الإسناد. فيكون مصدرا
·
“Sebagai mashdar (Mashdar
mimi) mempunyai arti sama dengan sanad”.
5.
Musnid : Kata musnid adalah isim
fa’il dari asnada-yusnidu, yang berarti “orang yang
menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya”. Sedangkan pengertiannya dalam istilah
Ilmu Hadis adalah :
هُوَ مَنْ
يَرْوِي الحَدِيْثَ بِسَنَدِهِ سَواءٌ أَكََانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ بِهِ أَمْ لَيْسَ
لَهُ إِلا مجرد الرواية
“Musnid adalah setiap perawi hadis yang
meriwayatkan Hadis dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan
tentang sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad
tersebut, tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja”
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, hal ini
dikarenakan hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan mengikuti siapa yang
meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana
yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
6.
Muhaddis : Muhaddis itu
adalah orang yang banyak menghafaz hadith serta mengetahui sifat-sifat orang
yang meriwayatkan tentang 'adil dan kecacatannya. Atau merupakan gelar untuk ulama yang
meguasai hadits, baik dari sudut ilmu riwayah maupun di rayah, mampu membedakan
hadits dha’if dari yang sahih, meguasai hadits-hadits yang mukthalif dan
hallain yang berkaitan dengan ilmu hadis.
7.
Hafiz : merupakan
gelar untuk ulama yang memiliki sifat-sifat seorang Muhaddis. Ulama yang dapat
gelar Al-Hafizh adalah yang dapat menghafal dan menguasai 100.000 hadits, baik
matan maupun sanadnya, meskipun dengan jalan sanad yang berbilang, juga
mengetahui hadits sahih dan ilmu haditsnya.
8.
Hujjah : merupakan
gelar untuk ulama yang dapat menghafal sekitar 300.000 hadits beserta keadaan
sanadnya. Diantara ulama yang mendapat gelar ini Muhammad ibn Abdullah ibnu
Amir.
9.
Hakim : merupakan
gelar untuk ulama yang dapat meguasai seluruh hadits, baik dari sudut matan dan
sanadnya jarh dan ta’dil-nya, maupun tariknya, ulama yang dapat gelar seperti
ini, ialah Ibnu Dinar, Al-laits, dan Asy-syafi’i.
10.
Amir al-mu’minin fi al-hadits : merupakan
gelar bagi ulama ahli hadis termasyhur pada masanya, yang memiliki keistimewaan
hafalan dan pegetahuan dalam bidang ilmu hadits (baik terhadap matan atau
sanadnya). Gelar ini diberikan di antaranya kepada syu’bah bin al-hajjaj,
sufyan ats-tsauri, ishak ibn ruhawaih, malik bin anas, ahmad bin hanbal,
al-bukhari, ad-daruquthni, az zahabi, dan ibn hajar al-asqalan
11.
Mutawatir : Hadits yang
diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya
itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama
berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi yakni dapat
dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberikan faidah ilmu yang harus
diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.
12. Ahad : Hadits yang
tidak mencapai derajat mutawatir.
13.
Shahih : Hadits yang
dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan
yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari
sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/ kewibawaan) dan
sempurna hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadist itu, dari orang yang
semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/ kelemahan)
dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits shahih hukumnya diterima dan
berfungsi sebagai hujjah.
14.
Hasan (baik) : Hadits yang sama dengan hadits yang shahih kecuali pada sifat rawinya di
mana hafalannya/ penjagaan
kitabnya terhadap hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits
hasan hukumnya diterima.
15. Dha’if
(lemah) : Hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya
ditolak.
16.
Maudhu’ (palsu) : Hadits yang
didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal beliau tidak
pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.
17.
Mursal : Yaitu
seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang
antara tabi’in tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin yang
hilang itu adalah rawi yang lemah.
18.
Syadz : Hadits yang
sanadnya shahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat
dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.
19.
Mungkar : Hadits yang
sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang shahih atau hasan dari
hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.
20.
Munqathi’ : Hadits yang
terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih
dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya
secara berurutan. Hukumnya tertolak.
21.
Atsar : Suatu ucapan
atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, yakni kepada para shahabat dan tabi’in.
22. Marfu’ : Suatu ucapan
atau perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
23.
Mauquf : Suatu ucapan
atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.
24. Jayyid
(bagus) : Suatu
istilah lain untuk shahih.
25.
Majhul : (Rawi yang)
tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada
yang men-ta’dil-nya, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Bila yang
meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-’ain, dan bila
lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits
yang lemah.
26.
Tsiqah : (Rawi yang)
terpercaya, artinya terpercaya kejujurannya dan keadilannya serta kuat hafalan
dan penjagaannya terhadap hadits.
27. Jarh : Cacat, dan
majruh artinya dinilai cacat
28. Ta’dil : Dinilai
adil.
29. Muttafaqun
‘alaih : Maksudnya
hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.
30. Mu’allaq/ta’liq : Hadits yang
terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.
31. Al jarhu wa ta’dil : Pernyataan adanya cela dan cacat, dan per-nyataan
adanya “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus” pada seorang rawi hadits.
32. At Ta’dil : Pernyataan adanya “al-Adalah” pada diri seorang rawi.
33.
Al Jarhu : Celaan yang
dialamatkan pada rawi hadits yang dapat mengganggu (atau bahkan meng-hilangkan)
bobot predikat “al-Adalah” dan “hafalan yang bagus”, dari dirinya.
34.
Tsiqah : Kredibel,
di mana pada diri seorang rawi ter-kumpul sifat al-Adalah dan adh-Dhabt
(hafalan yang bagus).
35.
Rawi La Ba`sa Bihi : Rawi yang
masuk dalam kategori tsiqah.
36.
Layyin : Lemah.
37.
Majhul : Rawi yang
tidak diriwayatkan darinya kecuali oleh seorang.
38.
Mubham : Rawi yang
tidak diketahui nama (identitas)nya.
39.
Rawi Mastur : Sama dengan
Majhul al-Hal (Rawi yang tidak diketahui jati dirinya).
40.
Perawi Matruk : Perawi yang
dituduh berdusta, atau perawi yang banyak melakukan kekeliruan, sehingga
periwayatanya bertentangan dengan periwayatan perawi yang tsiqah. Atau perawi
yang sering meriwayatkan hadits-hadits yang tidak dikenal (gharib) dari perawi
yang terkenal tsiqah.
41.
Rawi Mudhtharib : Rawi yang
menyampaikan riwayat secara tidak akurat, di mana riwayat yang disam-paikannya
kepada rawi-rawi di bawahnya berbeda antara yang satu dengan lainnya, yang
menyebabkan tidak dapat ditarjih; riwayat siapa yang mahfuzh (terjaga).
42.
Rawi Mukhtalith : Rawi yang
akalnya terganggu, yang menye-babkan hafalannya menjadi campur aduk dan
ucapannya menjadi tidak teratur.
43.
Saqith : Tidak
berharga karena terlalu lemah (parahnya illat yang ada di dalamnya).
44.
Tadh’if : Pernyataan
bahwa hadits atau rawi bersangkutan dha’if (lemah).
45.
Tahqiq : Penelitian
ilmiah secara seksama tentang suatu hadits, sehingga mencapai kebenaran yang
paling tepat.
46.
Tahsin : Pernyataan
bahwa hadits bersangkutan ada-lah hasan.
47.
Ta’liq : Komentar,
atau penjelasan terhadap suatu potongan kalimat, derajat hadits dan sebagainya
yang biasanya berbentuk catatan kaki.
48.
Takhrij :
Mengeluarkan suatu hadits dari sumber-sum-bernya, berikut memberikan hukum
atasnya; shahih atau dhaif.
49.
Syahid : Hadits yang
para rawinya ikut serta meriwa-yatkannya bersama para rawi suatu hadits, dari
segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari sahabat yang berbeda.
50.
Syawahid :
Hadits-hadits pendukung, jamak dari kata syahid. Haditsnya layak dalam
kapasitas syawahid, artinya, dapat diterima apabila ada hadits lain yang
memperkuatnya, atau sebagai yang me-nguatkan hadits lain yang sederajat
dengannya.
51.
Mutaba’ah : Hadits yang para rawinya ikut serta meriwayatkannya bersama para rawi
suatu hadits gharib, dari segi lafazh dan makna, atau makna saja; dari seorang
sahabat yang sama.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian
di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu, bahwa hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW., baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
maupun persetujuannya.
Selain hal
yang kami sebut di atas, ada hal lain yang harus dipahami dalam mempelajari
ilmu hadist, yaitu istilah-istilah yang ditetapkan para ulama dalam ilmu
hadits, seperti; matan,
sanad, rawi dan lain sebagainya.
B.
SARAN
Dari
runtutan pembahasan mengenai dasar-dasar ilmu hadits ini kami merekomendaikan
beberapa saran yaitu:
1.
Kepada seluruh kaum muslimin untuk terus mendalami
sumber hukum umat islam yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2. Mempelajari
ilmu hadits dapat dilakukan dengan mncari referensi-referensi yang terkait
ataupun bertalaqqie kepada seorang ahli ilmu (‘ulama atau Ustadz).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib,
M.Ajaj. Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Jakarta: PT Gema Insani
Pers. 1999
M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Insansejati.com/ilmu-hadits/54-asbabul-wurud.html
Shalih
Al-Utsaimin. Syeikh Muhammad, 2008. Musthalahul Hadits. Jogjakarta:
Media Hidayah.
As-Shalih,
Dr. Subhi. 2002. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
An-Nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar
Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ahmad, H. Muhammad. 1998. Ulumul
hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Ismail, M. S. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
At-Thahhan, Mahmud. 1985. Taysir Mushthalah Al-Hadits. Jeddah:
Mayyinul Had.
DOWNLOAD TEXT NYA DISINI
1 comments:
Click here for commentsArtikelnya bagussss....
Saya dari uin juga lho haha
Makasihhh telah membantu
ConversionConversion EmoticonEmoticon