Di Yogyakarta, saya berkawan akrab dengan
Natsir, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Takengon, Aceh Tengah yang selalu
bersemangat menceritakan hamparan kebun kopi yang menarik hati di kampung
halamannya - di pelukan pegunungan Gayo. Dengan detail ia ceritakan bagaimana
rasanya menginap di pondok petani kopi, ikut memetik buah kopi tua dari pucuk
pohonnya, mengeringkannya, hingga kemudian memprosesnya menjadi bubuk kopi
harum yang rasanya memikat lidah. "Menikmati secangkir kopi Gayo yang baru
saja dididihkan di atas perapian itu rasanya tidak terkira Bas! Kopi buatan bapakmu
yang selalu kau suguhkan itu kalah jauh!", ungkapnya dengan bersemangat.
Di Jakarta, saya bersua dengan Hambari,
seorang fotografer lepas pada suatu sore di sudut Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Saya sedang khusyuk menekuri buku fotografi bawah laut di kedai buku Jose Rizal
Manua kala itu, tidak menyadari kehadirannya. Saya baru tersadar ketika putra
asli Sabang ini membisiki saya, "Kalau mau melihat yang begituan, datanglah
ke kampung saya, di ujung barat negeri, di Sabang!" Saya yang masih
sedikit terkejut saat itu hanya terdiam. "Iyah, di Pulau Weh, ujung Aceh!
Perkenalkan, saya Hambari!", tangan kami bertaut. Dan sejurus kemudian,
kami sudah berpindah tempat ke salah satu kedai makanan laut di dekat pintu
masuk TIM.
Dari sosok Hambari, yang baru saya kenal
itu, saya dapatkan cerita tentang Pantai Gapang. Lautnya masih biru, pasirnya
putih menentramkan, ombaknya memang sedikit keras namun itulah ombak laut
lepas, demikian Hambari menuturkan. Saya hanya melongo karena memang tidak
begitu tahu tentang Sabang dan Pulau Weh. Selama ini Wakatobi, Bunaken, hingga
Mentawai sudah cukup memanjakan 'keanehan saya'. Aneh? Yah, saya ini takut air,
tidak bisa berenang, namun begitu senang melihat keindahan lautan. Hambari
terkekeh. Di Gapang, di bawah matahari sisi utara katulistiwa, kehidupan bawah
lautnya tak kalah keren! Dari permukaan air sudah bisa kelihatan gugusan karang
dengan ikan-ikan kecilnya yang lalu lalang, tak usah takut tenggelam!, Hambari
menggodaku. Ah, dasar.
Di tengah kokoh berdirinya gedung-gedung
pencakar langit di Kuala Lumpur, Zulhilmi, ketua Persatuan Pelajar Indonesia
IIUM yang asli Aceh sering mengejek saya. "Sepelemparan mata saja dari
Kuala Lumpur. Keterlaluan kalau dikau tak sempatkan untuk berkunjung ke Tanah
Rencong!". Sosok Zulhilmi yang pekerja keras dan tulus menjalankan amanah
perlahan mengikis kata orang yang sering saya dengar, "Orang Aceh itu
malas-malas!".
Di Hong Kong, saya bertemu dengan Randy,
bukan orang Aceh, namun orang Betawi, kuliah di UGM Jogja, dan menyimpan mimpi
besar untuk bisa mengunjungi Aceh. Aha, akhirnya saya dapatkan rekan!, batinku.
Kamipun lantas berjanji, akan kunjungi Aceh suatu hari nanti, bersama-sama. Yah, dua orang Indonesia, pengagum Indonesia, pecinta Indonesia, berjanji berdua di tengah dinginnya udara Hong Kong di bulan Januari untuk bersama mengunjungi Tanah Rencong.
Kamipun lantas berjanji, akan kunjungi Aceh suatu hari nanti, bersama-sama. Yah, dua orang Indonesia, pengagum Indonesia, pecinta Indonesia, berjanji berdua di tengah dinginnya udara Hong Kong di bulan Januari untuk bersama mengunjungi Tanah Rencong.
Pagi tadi, seseorang mengirimkan informasi
tentang satu lomba menulis pada saya. Dan, begitu saya susuri informasinya,
hati saya langsung meronta untuk ikut. Saya kabarkan informasi yang sama pada
Randy!
"Ada komunitas, namanya @iloveaceh, yang tentu saja peduli pada Aceh dan berusaha mempromosikan Aceh melalui media maya. Mereka mengadakan lomba menulis, hadiahnya ke Aceh mas!. Saya tidak menjamin lomba ini akan menjadi penjawab mimpi-mimpi kita untuk ke Aceh bersama. Namun, bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba kan kawan?"
"Ah, gila! Deadline sudah hampir datang!" "Berlomba dengan deadline itu menyenangkan mas! Apalagi untuk sesuatu yang kita cinta dan kita pinta dalam setiap doa, agar suatu saat kita bisa ke sana: Aceh!"
"Ada komunitas, namanya @iloveaceh, yang tentu saja peduli pada Aceh dan berusaha mempromosikan Aceh melalui media maya. Mereka mengadakan lomba menulis, hadiahnya ke Aceh mas!. Saya tidak menjamin lomba ini akan menjadi penjawab mimpi-mimpi kita untuk ke Aceh bersama. Namun, bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba kan kawan?"
"Ah, gila! Deadline sudah hampir datang!" "Berlomba dengan deadline itu menyenangkan mas! Apalagi untuk sesuatu yang kita cinta dan kita pinta dalam setiap doa, agar suatu saat kita bisa ke sana: Aceh!"
Yah, bismillah. Aceh, aku (kami) datang!
ConversionConversion EmoticonEmoticon