Lokasi Gua Ashabul Kahfi terletak kira-kira 7km dari
pusat bandar Amman, Jordan. Kawasan ini suatu ketika dahulu dikenali dengan
Ar-Raqim kerana terdapat kesan tapak arkeologi yang bernama Khirbet Ar-Raqim di
kawasan tersebut. Perkataan Ar-Raqim juga disebut di dalam Al-Quran dan Ahli
Tafsir menafsirkan Ar-Raqim sebagai nama anjing dan ada yang menyatakan ia
sebagai batu bersurat.
Kahf Ahlil Kahf merupakan lokasi sejarah yang
membuktikan kebenaran kisah di dalam Al-Quran iaitu di dalam Surah Kahfi mulai
ayat 9 hingga 26. Ayat di dalam Surah tersebut menceritakan bagaimana 7 orang
pemuda yang beriman kepada Allah melarikan diri ke sebuah gua dan Allah
menidurkan mereka selama 309 tahun Qamariah (300 tahun Shamsiah) sehingga
mereka tidak dapat dibangunkan oleh suara apa sekalipun.
Firman Allah; “Adakah engkau menyangka (wahai
Muhammad), bahawa kisah ‘ashabul kahfi’ (penghuni gua) dan ‘ar-raqiim’ (anjing
mereka) termasuk antara tanda-tanda-tanda kekuasaan Kami yang menakjubkan?
(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua
lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami
(ini)”. (al-Kahfi: 9)
Ashabul kahfi (penghuni-penguni gua) yang dimaksudkan
dalam ayat di atas, menurut para ulama’- terdiri dari tujuh orang pemuda iaitu;
1.
Maksalmina
2.
Tamlikha
3.
Martunus
4.
Bainunus atau Nainunus
5.
Sarbunus
6.
Dzunuanus
7.
Kasyfitatanunus
Bersama mereka seekor anjing bernama Qitmir mengekori
mereka. Pemuda-pemuda ini beriman kepada Allah di tengah kekufuran kaum dan
bangsa mereka. Identiti mereka sebagai pemuda yang beriman diakui oleh Allah
dengan firmanNya;
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”.
(al-Kahfi: 13)
Kisah ashabul kahfi
Kisah ashabul kahfi ini terjadi di negeri Romawi,
disebuah kota bernama Aphesus, dan setelah kedatangan islam maka nama negeri
itu menjadi Tharsus. Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang
baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak
dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan
akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibu kota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana yang amat sangat megah.
Raja itu mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari
anak-anak para hulubalang. Selain itu raja juga mengangkat 6 orang, terdiri
dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja,
tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di
sebelah kiri."
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah .
Enam orang pembantu raja itu tiap harinya selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran,
untuk membicarakan hal-hal mengenai keimanan dan kenegaraan mereka, kerka yang
berasal dari kalangan yang berbeda tetapi mereka disatukan dengan keimanan
kepada Allah. sebagaimana yang
ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari hadits
Yahya bin Sa‟id dari „Umrah dari „Aisyah, ia bercerita, Nabi bersabda;
“Arwah itu
bagiakan tentara yang dikerahkan. Yang saling kenal akan bersatu dan yang
saling mengingkari akan saling menjauh”1
Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka
berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri
tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa
engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'
'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum,
juga tidak ingin tidur.' Temantemannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?'
'Sudah lama aku memikirkan soal „langit,' ujar Tamlikha
menjelaskan. 'Aku lalu bertanya pada diriku sendiri, 'siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu
dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah
yang membentang dan menghamparkan di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan
gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku
juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku
sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi
makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan
Diqyanius."
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya.
Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami
sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua'
'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku maupun
kalian tidak menemukan akal lagi selain harus lari meninggalkan raja yang
dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi'. 'Kami setuju dengan
pendapatmu,' sahut teman-temannya. Pada saat seperti ini maka seorang hamba
dianjurkan untuk melarikan diri karena takut akan akibat yang menimpa agama
yang dianutnya sebagaimana sabda Nabi:
“hampirtiba
masanya, sebaik-baik harta salah seorang diantara kalian pada saat itu adalah
kambing yang digembalakan ke puncak gunung dank e tempat turun hujan, dimana ia
melarikan diri demi mempertahankan agamanya dari fitnah”.2
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk
menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak tiga dirham.
Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan
kuda bersama-sama dengan temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada temantemannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas
dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki. Mudahmudahan Allah akan memudahkan urusan kita
serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu
berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?'. 'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,'
sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum
bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan
kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'
'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah
memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika
kami mengatakan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua
yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera
bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata,
'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian.
Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.'
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala
itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.
Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang
pelarian itu melihat seekor anjing, masingmasing saling berkata kepada
temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya,
lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata
dengan lancar dan jelas sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu
apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat
demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua."
"Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan memancur mata air deras sekali. Mereka makan buah-buahan
dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka
masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka,
berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi
pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa
mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua
Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat
terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat
hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan
berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang
melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua.
Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang
tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak
menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan
mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya,
"Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka
itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu. Dalam gua tertutup rapat itu, mereka
tinggal selama 309 tahun. Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT
mengembalikan lagi nyawa mereka.
“ Kemudian Kami
bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu]
yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).”3
Pada saat
matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun
dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam
tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!'
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka
lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah
menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan
pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang
dimasak dengan lemak-babi.'
Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku
sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat
menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali
belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di
angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil
mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!'
Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia
berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah
pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama
kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.
'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi.
'Abdurrahman,' jawab penjual roti. 'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata
Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!'
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena
uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan
lebih berat dari uang yang baru." Kemudian Penjual Roti itu berkata kepada
Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!'
'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha.
'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga
tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya
menyembah Diqyanius!'
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah
engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu
kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang
mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun
yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap
adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita
tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut!
Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta
karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan
selamat.'
Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak
menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'
Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk
kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha, adakah orang yang kau kenal?' tanya
raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.
'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha
menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang
dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata.
'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'
'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang
menyertai aku!'
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai
Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling
tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan, 'Inilah rumahku!'
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki
yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian
ada perlu apa?'
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang
muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil
mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'
Orang tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!'
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan
kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang
diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."
Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha
Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!'
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian
dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke
tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat
Tamlikha, raja segera turun dari kuda.
Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan
orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil
bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua. Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua
orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing
pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan
ceritanya.
"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan
dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar
suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius
datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di
sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri
ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan
Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur
bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'
Tamlikha menukas, Ada urusan apa dengan Diqyanius?
Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini? Kami tinggal
sehari atau beberapa hari saja, jawab
mereka.
'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di
sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi
generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'
Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah
engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.
'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat
seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke
atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!' Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT
melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu
segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari
pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk
lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang
betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua
peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka. Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata,
'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat
ibadah di pintu gua itu.
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula,
Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di
pintu gua itu. Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui
pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang
beragama Islam."
Hikmah
hikmah
yang dapat diambil dari kisah ini diantaranya ialah: pemuda yang benarbenar
beriman kepada Allah, sehingga ia rela meninggalkan kemewahan dan kedudukan
yang tinggi di dalam kerajaan demi menyelamatkan keimanannya kepada Allah, dan
ketika ada masalah yang memang benar-benar tidak ada lagi jalan keluar seperti
yang dilakukan oleh pemuda-pemuda itu maka pergi untuk meninggalkan orang-orang
yang dzalim itu adalah lebih baik, dari pada menetap dan akhirnya akan dibunuh
jika diketahui beriman kepada Allah.
Referensi
Tafsir
Ibnu Katsir, Dr. „Abdurrahman bin Muhammad Alu Syaikh, Pustaka Imam
Asy-Syafi‟i.
kitab
Qishashul Anbiya
http://islamitubenar.wordpress.com
http://az.wikipedia.org/wiki/Əshabi-Kahf
ConversionConversion EmoticonEmoticon